Jumat, 20 Desember 2013

The Coffee-roasting Company

Bis rute 17 berhenti tepat di pemberhentian 19th street yang berada di antara Walnut dan Moravian street. Serentak pintu depan dan belakang bis terbuka. Penumpang yang sudah menunggu di pemberhentian mulai masuk satu per satu melalui pintu depan. Sementara pintu belakang diperuntukkan bagi mereka yang ingin turun. Keteraturan memang sudah membudaya di sini. Aku bergegas melompat dari pintu belakang. Dengan langkah cepat menuju pintu masuk café yang berada tepat di belakang pemberhentian bus.

Salju turun sangat tebal hari ini. Mereka berbondong-bondong berkejaran meninggalkan langit yang makin muram. Beberapa hari yang lalu, para meteorologist dengan sangat yakin meramalkan bahwa hari ini salju akan turun setebal 3 inchi. Sial, kali ini mereka benar.

Mataku sibuk berkeliling memeriksa setiap sudut ruangan. Seakan tak percaya pada kedua mata ini, aku berjalan ke arah meja-meja yang tertata dengan rapih itu dengan penuh harapan. Namun yang kutemui adalah kekecewaan. Michelle tidak ada.

Dengan langkah gontai aku mendekat ke arah meja bar. “What’s up man?” George menyapa.

“Not much.” jawabku tanpa semangat.

Seperti biasa, hari Rabu adalah jadwal tetap George sebagai barista. George menyodorkan espresso yang sudah ia siapkan. Sudah sangat lazim apabila para barista hafal dengan pilihan kegemaran para pelanggan setianya.

“Thanks, man!” sambil kusodorkan dua lembar uang satu dollaran. George memberikan kembali sekeping koin 25 sen. Kepingan logam itu ku masukkan ke dalam mangkok tip yang berada tepat di depan mesin register.

Aku duduk di meja yang ada di pinggir café yang dapat melihat pemandangan di luar sana. Michelle selalu memilih tempat itu. “Melihat orang lalu lalang membuatku bersamangat,” ia pernah menjelaskan alasannya kepadaku.

Aku masih membayangkan perselisihan semalam. Tidak banyak yang ia ungkapkan. Tetapi genangan air di matanya mengungkapkan banyak hal. Tatapanku kosong menembus gambar seekor merpati yang ada di kaca depan café.

“Hai Bung!” kurasakan tepukan di punggungku. Terhentak dan terbangun dari lamunanku. Akmal sudah berdiri di sampingku sambil memegang secangkir kopi lengkap dengan croissant almond kegemarannya. Di sini, semua cangkir dan juga keramik yang melapisi meja memiliki motif yang serupa. Cangkir dan keramik itu dipesan khusus dari Itali. Pada bagian bawah cangkir tertera Fime Deruta Italy.

“Ah kamu, bikin kaget saja,” gerutuku.

“Hey sudah baca artikel yang aku kirim?” tanya Akmal dengan penuh antusias.

“Belum,” jawabku cepat.

Akmal tampak kecewa tapi sepertinya ia memakluminya. Beberapa hari yang lalu artikelnya dimuat di majalah dengan taraf nasional yang katanya enak dibaca dan perlu itu. Akmal adalah seorang mahasiswa S3 di bidang politik dan sosial di University of Pennsylvania. Wawasannya yang luas membuat ia mampu memotret kondisi politik dan sosial yang sedang hangat dibicarakan di Indonesia dengan gambar yang sangat tajam. Kerap kali Akmal datang dengan topik-topik diskusi yang menarik mulai dari film, sastra, philosophy, ekonomi, agama dan tentu saja politik.

Tiba-tiba Akmal berkata dengan sangat meyakinkan, “Besok aku mau mulai ke gym”.

“Apa?”

“Iya, kali ini aku serius mau ngegym,” dengan mimik meyakinkan.

Aku hanya bisa tersenyum lebar. Entah kali yang keberapa ia ulangi ikrar ke gymnya ini. Pembicaraan pun beralih topik. Kami terlibat diskusi yang menarik mengenai kejadian-kejadian aktual di tanah air. Beruntung teknologi informasi sudah sedemikian majunya. Hanya dalam hitungan menit, peristiwa yang terjadi di Indonesia bisa sampai di Amerika. Luar biasa.

Waktu menunjukkan pukul 6.15 sore. Tidak terlihat tanda salju akan mereda. Winter membuat malam datang lebih awal, memangkas siang sekenanya. Suhu di luar terus merangkak turun ke bawah nol derajat.

“Tumben Serge belum isi absen,” Akmal mengalihkan pembicaraan. Hari ini adalah jadwal reguler Serge hadir di La Colombe. Sergei adalah seorang loyalis Apple Computer dan Francophile sejati.

“Itu dia datang,” aku menunjuk arah pintu. Udara dingin menerobos dengan cepat ketika Serge membuka pintu.

“What’s going on?” tanya Serge.

“Nothing new,” jawab Akmal.

“Let me get my coffee first,” Serge menuju ke bar.

“One Macchiato,” teriak George. Macchiato adalah kegemaran Serge. Disajikan dalam cangkir kecil berukuran 4 oz. dengan komposisi satu “shot” espresso dicampur busa susu.

Tak lama berselang, Serge bergabung bersama kami. Isu-isu politik dan budaya menjadi bahan obrolan yang menarik. Pembicaraan semakin menarik ketika kami membahas sebuah film berjudul Manhattan garapan Woody Allen. Serge dan Akmal cukup serius menguliti film itu. Maklum lah mereka pernah tinggal cukup lama di Manhattan. Tentunya tak luput pula dibahas mengenai karakter Woody Allen yang tak kalah kontroversialnya.

La Colombe tidak menyediakan fasilitas wi-fi seperti layaknya café-café di Amerika. Outlet listrik pun hanya ada satu. Sepertinya mereka menginginkan agar pengunjung café berinteraksi tanpa gadget yang kerap kali mengisolasi seseorang di keramaian.

Obrolan kami semakin menarik, tapi entah mengapa kejadian kemarin terus menggangguku dan pikiranku terus terseret bayangan Michelle. Kata demi kata yang aku lontarkan semalam masih jelas teringat. Aku telah melukai hatinya. Aku menarik nafas dalam sambil memandang  ke luar jendela. Dada ini seakan penuh disesaki oleh tumpukan rasa bersalah.

Jarum jam berada tepat pada angka tujuh. Jutaan salju masih terus berguguran, menumpuk, membeku didekap udara dingin yang kejam. Seperti virus ganas, rasa dingin itu menular cepat ke dalam pikiran dan menyergap hatiku yang semakin resah bersalah.

“Thank you folks, La Colombe is closed,” teriak George.

Bersambung…. entah kapan :)
Ditulis di La Colombe pada 17 Desember 2013


Creative Commons License
The Coffee-roasting Company by Fathony Rahman is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License.
Based on a work at http://sithony.blogspot.com/2013/12/the-coffee-roasting-company.html.

Jumat, 31 Agustus 2007

Posting pertamaku

My first post
Mijn eerste post
Ma première distribution
Mein erster Pfosten
η πρώτη θέση μου
Il mio primo alberino
私の就床ラッパ
나의 1종 우편
Meu primeiro borne
мой первый столб
Mi primer poste
我的第一岗